Ekonomi Susah, Emak-Emak di Mandailing Natal Ini Cari Nafkah Jadi Kuli Pecah Batu

MohgaNews|Madina – lemahnya ekonomi belakangan ini turut dirasakan masyarakat pedesaaan, bahkan warga pedesaan mengaku ekonomi paling sulit itu sesungguhnya dirasakan masyarakat kalangan bawah.

Misalkan saja di kelurahan Pidoli Dolok Kecamatan Panyabungan, Madina. Dalam beberapa bulan terakhir, banyak emak-emak atau kalangan ibu rumah tangga yang turut serta mencari nafkah untuk menutupi kebutuhan keluarga. Bukan karena suami mereka tidak bekerja, tetapi penghasilan suami mereka tidak sanggup lagi memenuhi kebutuhan rumah tangga, dengan terpaksa mereka ikut membantu bekerja apa saja yang penting bisa jadi uang.

Satu-satunya penghasilan alternatif emak-emak di Pidoli Dolok Panyabungan saat ini adalah menjadi kuli tukang pecah batu kali. Mereka menghabiskan waktu mulai dari pagi hingga malam duduk sambil memegang palu besar untuk menghancurkan batu kali menjadi batu split, dan malam harinya mereka akan menerima upah dari si pemilik batu itu.

Pemilik batu tersebut adalah rekanan perusahaan panas bumi dan proyek pembangunan gardu induk yang sedang beroperasi di Kabupaten Madina.

Upah yang didapatkan emak-emak ini pun sebenarnya tak sebanding dengan tantangan kerja dan waktu kerja seharian bahkan hingga malam itu. Rata-rata mereka hanya bergaji paling besar Rp 50 ribu. Hitungan upahnya adalah Rp 3 ribu perkaleng. Dan, seharian mereka hanya bisa mengerjakan 10 hingga 15 kaleng batu kali yang sudah dipecahkan menjadi batu split.

“Pagi-pagi dump truk nya akan kemari menurunkan batu kali, itulah nanti yang kami kerjakan seharian. Hamper semua ibu-ibu disini ikut, untuk membantu suamilah, karena sekarang ekonomi kan lagi sulit, penghasilan suami pun makin sedikit, kalau kami tak ikut kerja, kebutuhan rumah tangga nanti bisa terancam,” ujar Liswarni (50) kepada MohgaNews, Kamis (13/9) yang sedang mengerjakan pecah batu di depan rumahnya.

Menurutnya, kerja jadi kuli pecah batu ini pertama diikuti emak-emak pada bulan puasa ramadhan tiga bulan yang lalu. Saat itu, warga yang sedang menyiapkan keperluan lebaran di tengah situasi ekonomi yang sulit.

“Orang sini kan banyak suami yang kerjanya mencari batu kali di sungai Aek Pohon, mungkin warga sini yang bawa orang yang punya proyek, dan mereka ajak kami ikut kerja, kami pasti maulah, apalagi waktu itu sudah dekat lebaran, biarpun cuma dapat upah Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu seharian, itu sudah cukup membantu kami,” ungkapnya.

Selain Liswarni, emak-emak pekerja pecah batu yang lain juga menerangkan, pekerjaan itu mereka lakukan dikarenakan keadaan ekonomi yang makin sulit. Seperti disebutkan ibu bermarga Nasution (42), yang ikut bekerja jadi kuli pecah batu bukan hanya ibu rumah tangga saja, bahkan banyak juga anak gadis yang ikut bekerja untuk membantu orangtua.

“Kebanyakan ibu-ibu, tapi ada juga anak gadis yang ikut, maklum lah anak gadis kan butuh uang juga, beli bedak dan keperluan lainnya, sementara minta sama orangtua kan sudah sangat susah, dengan sendiri mereka ikut kerja,” sebutnya.
Di sisi lain, emak-emak pemecah batu kali menjadi batu split ini juga menceritakan tantangan yang sering mereka alami sewaktu menjalankan pekerjaan itu, seperti jari tangan yang terkena ketukan palu dan merasakan sakit yang luar biasa.

“Mungkin semua sudah merasakan kena ketukan palu, sakitnya luar biasa. Tapi itu semua kami tahankan bagaimana supaya bisa menghasilkan uang,” pungkasnya.

Mereka juga menambakan, ekonomi paling sulit dirasakan warga dalam kurun waktu 4 tahun terakhir, semenjak harga karet turun di bawah Rp 10 ribu perkilo.

“Disini kebanyakan warga bekerja di kebun karet, ada yang kebun sendiri, tetapi kebanyakan kerja di kebun karet milik orang sebagai pekerja. Waktu harga karet masih belasan ribu perkilo, keadaan masih biasa-biasa, dan biarpun suami hanya pekerja, penghasilannya masih memadai untuk keperluan rumah tangga,

“Tapi kalau sekarang, banyak yang berhenti kerja di kebun karet, karena harganya sangat murah. Sebagian mencari kerjaan di sungai mengambil pasir dan batu untuk dijual,” ucapnya.

Harapan mereka, pemerintah memperhatikan ekonomi kerakyatan yang bisa membantu kehidupan masyarakat kalangan bawah. Karena saat ini, menurut emak-emak yang diperlukan bukan lagi pembangunan infrastruktur jalan, tetapi yang dibutuhkan adalah perbaikan ekonomi masyarakat. (MN-01)