INTIMIDASI AKAN MENGGAGALKAN DEMOKRASI

INDONESIA menganut negara demokrasi secara konstitusional. Demokrasi adalah sistem pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Dalam demokrasi, keputusan politik dibuat berdasarkan kehendak mayoritas, namun tetap menghormati hak-hak minoritas. Rakyat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang mereka pilih.

Sejak reformasi pada tahun 1998 yang mengakhiri rezim Orde Baru, Indonesia telah mengalami transisi menuju sistem demokrasi yang lebih terbuka dan inklusif. Dalam sistem ini, rakyat memiliki hak untuk memilih pemimpin mereka melalui pemilihan umum (Pemilu) yang diadakan secara berkala, baik di tingkat nasional seperti pemilihan presiden, DPR dan DPD, maupun di tingkat daerah seperti DPRD dan pemilihan kepala daerah: pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota.

Salah satu ciri utama dalam negara demokrasi khususnya di Indonesia yaitu pemilihan langsung yaitu pemilihan presiden, kepala daerah, dan wakil rakyat dilakukan secara langsung oleh rakyat dengan sistem pemungutan suara. Kemudian kebebasan bicara dan menyampaikan pendapat, dan lainnya.

Meskipun Indonesia telah berkembang sebagai negara demokrasi, tantangan seperti korupsi, praktik politik uang, intimidasi, intervensi, dan isu-isu terkait kebebasan sipil masih selalu terjadi. Prilaku ini sering terjadi dalam proses pemilihan umum.

Pada saat ini Indonesia sedang melangsungkan pesta demokrasi yaitu pemilihan kepala daerah serentak di seluruh provinsi dan kabupaten kota. Lalu, ancaman demokrasi dalam bentuk intimidasi ini sempat dikemukakan oleh salah satu Calon Bupati Mandailing Natal, Sumut, yang diusung Partai Gerindra, Golkar, dan PAN. Calon Bupati Madina dimaksud adalah nomor urut 1, Harun Mustafa Nasution.

Tindakan intimidasi ini disampaikan Harun Mustafa Nasution di posko Gerindra Madina beralamat di Desa Panggorengan, Kecamatan Panyabungan kepada wartawan usai mengikuti nonton bareng pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Minggu (20/10/2024)

“ada oknum-oknum mencoba mengintimidasi pihak lain untuk memilih salah satu paslon, ini seharusnya tidak boleh terjadi. Oleh karena itu saya minta agar ini diusut dan jangan biarkan. Kalau begini caranya saya tidak akan tinggal diam,” isi pernyataan Harun Mustafa kepada media.

Mengamati statemen Harun ini, ada persoalan yang terjadi dan perlu adanya upaya untuk menyelidiki dan menindaknya sesuai aturan, apakah benar intimidasi atau intervensi yang muaranya adalah ancaman bagi demokrasi. Apabila itu terjadi maka yang akan dirugikan adalah hak politik masyarakat.

Dapat diketahui, intimidasi merupakan tindakan atau upaya menakut-nakuti, mengancam, atau memaksa seseorang melalui ancaman fisik atau psikologis yang bertujuan membuat seseorang merasa takut atau tertekan sehingga ia tunduk pada keinginan pelaku intimidasi. Juga untuk melemahkan posisi, keputusan, atau hak orang lain.

Dampak intimidasi dalam Pilkada sangat merusak integritas proses demokrasi dan bisa memiliki konsekuensi serius, seperti mengurangi partisipasi pemilih, karena intimidasi dapat membuat pemilih enggan datang ke TPS, sehingga tingkat partisipasi pemilih menurun. Hal ini mengakibatkan proses pemilihan yang tidak sepenuhnya mencerminkan kehendak rakyat.

Kemudian, intimidasi dapat membatasi kebebasan memilih. Pemilih yang merasa terintimidasi mungkin terpaksa memilih kandidat yang tidak mereka dukung atau bahkan tidak memilih sama sekali, menghambat kebebasan dalam mengekspresikan pilihan politik mereka.

Tindakan intimidasi juga dapat merusak legitimasi hasil pemilihan. Jika intimidasi memengaruhi hasil pemungutan suara, maka hasil Pilkada tersebut bisa dipertanyakan legitimasi dan keabsahannya. Hal ini bisa menyebabkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat dan memicu konflik sosial dan berakibat fatal pada pemerintahan selanjutnya yang akan menjalankan pembangunan. Intimidasi juga dapat menimbulkan kekerasan dan ketegangan, dapat menciptakan ketegangan dan konflik antara kelompok pendukung, yang berpotensi menimbulkan kekacauan selama dan setelah Pilkada.

Oleh karena itu, intimidasi yang diungkapkan oleh Harun Mustafa Nasution meskipun sifatnya masih dugaan atau indikasi, maka perlu dilakukan kajian oleh setiap lembaga terkhusus Bawaslu sebagai lembaga yang ditugaskan mengawasi semua tahapan kampanye politik. Jika dugaan tidak dilanjutkan dengan investigasi atau penelusuran maka dapat menimbulkan fitnah, mengingat Pilkada Madina 2024 ini hanya diikuti dua pasangan calon: Harun Mustafa Nasution-Muhammad Ichwan Husein, dan pasangan Saipullah Nasution-Atika Azmi Utammi Nasution.

Terlepas dari itu, paslon, partai pengusung, tim pemenangan, dan relawan kiranya lebih santun dalam menjalankan tahapan kampanye. Menjunjung tinggi aturan kampanye, mengajak masyarakat memilih paslon dengan prilaku-prilaku baik. Yakinlah, intimidasi, intervensi, black campaign hanya akan merusak sistem demokrasi kita. Mari sama-sama kita kembalikan ke kesepakatan bersama untuk mewujudkan pilkada yang damai, sehingga siapapun nanti yang terpilih akan dapat menjalankan program dan visi-misinya dengan baik.

MUHAMMAD RIDWAN LUBIS
Mahasiswa pascasarjana program magister prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syeh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan