Polisi yang ‘Dilempari’ Warga Madina itu Pecah Bintang

OLEH: MUHAMMAD RIDWAN LUBIS

Membaca judul tulisan ini pembaca pasti bertanya-tanya, mengapa seorang polisi sempat dilempari warga. Tapi ini sepenggal kisah bersama Hirbak Wahyu Setiawan, yang baru saja ditugaskan Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo sebagai Karo Analis Baintelkam Polri, jabatan ini untuk jatah perwira tinggi berpangkat Brigadir Jenderal, artinya tidak lama lagi Hirbak Wahyu Setiawan akan pecah Bintang menjadi jenderal Bintang satu, atau Brigadir Jenderal (Brigjen). Sebelumnya Kombes Pol Hirbak Wahyu Setiawan menjabat direktur intelkam Polda Metro Jaya.

Kisah ini terjadi pada tahun 2009, atau 14 tahun yang lalu. Hirbak masih berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) dan baru ditugaskan sebagai Kapolres Mandailing Natal (Madina).

Baru saja bertugas di Madina, Hirbak dihadapkan dengan sengketa tapal batas antara Kecamatan Lingga Bayu dengan Kecamatan Natal, sehingga terjadi perebutan kebun plasma atau kemitraan dengan salah satu perusahaan di wilayah itu. Sengketa ini melebar menjadi kericuhan, bahkan saling sandera atau saling tawan. Pasukan dalmas Polres Madina pun turun menenangkan massa, karena akses jalan ke Kecamatan Natal sudah ditutup oleh masyarakat Simpang Gambir, Lingga Bayu. Tak seorangpun bisa lewat, seketika itu situasi mencekam. Di tempat lain tak jauh dari Simpang Gambir tepatnya di wilayah perkebunan sawit sudah terjadi pembakaran pos.

Saya saat itu wartawan surat kabar harian Metro Tabagsel, sebelum kejadian penutupan akses jalan ke Natal saya dan teman-teman wartawan televisi sudah masuk ke dalam, ke lokasi perkebunan sawit. Namun karena telah terjadi pemblokiran jalan, kami yang sudah pulang ke Panyabungan terpaksa berangkat lagi ke sana. Dengan waktu tempuh perjalanan sekitar tiga jam sekali jalan. Sulitnya lagi, pengiriman bahan berita saat itu harus mencari warnet (warung internet) dulu, karena belum ada smart phone (android). Internet dapat diakses hanya dari warnet.

Setibanya di Simpang Gambir ternyata benar tidak ada yang bisa lewat dari blokade jalan yang dilakukan warga Simpang Gambir, bahkan di sepanjang jalan itu sudah tersusun batu. Sedangkan teman-teman saya saat itu semuanya wartawan televisi tentu saja mereka ingin mendapatkan video kondisi di Natal, kami mencari cara untuk tetap bisa menembus blokade jalan di Simpang Gambir. Ada Hanafi Lubis dari SCTV, ada Ahmad Husein Lubis (RCTI), Romulo Siregar (Tvone) dan Khairul (Indosiar)

Tak lama kemudian sebuah truk dalmas Polres Madina lewat, kami menyetop dan meminta tumpangan, dan akhirnya kami diikutkan dalam truk dalmas itu yang sudah penuh anggota polisi. Ada sekitar 30an orang anggota polisi berseragam lengkap di dalam, sehingga posisi kami berada di belakang tepat di pintu truk, berdiri dengan pakaian preman (pakaian bebas).

Saat melintasi kerumunan masyarakat Simpang Gambir yang memblokade jalan, warga yang melihat kami memakai pakaian bebas menganggap kami adalah warga Natal sebagian ada yang berteriak “itu ada orang Natal”. Saat itu juga kami menunjukkan id card atau kartu pengenal wartawan kepada masyarakat sambil menjawab “kami wartawan, bukan orang Natal”. Sebagian orang yang berkerumun percaya kalau kami bukan warga Natal. Namun sebagian orang yang berada di barisan belakang dan sempat mendengar teriakan ada orang Natal, akhirnya kami pun terkena serangan lemparan batu dari warga yang berada di barisan belakang. Mungkin mereka tidak mendengar jawaban “kami wartawan, bukan orang Natal”. Serangan tak terhindarkan truk dalmas yang kami tumpangi pun tancap gas, kami dan anggota polisi yang ada di dalam truk kucar kacir, ada yang berteriak kesakitan. Termasuk seorang teman kami wartawan RCTI (Ahmad Husein).

Setelah aman dari amuk massa sekitar tiga kilometer dari kerumunan warga Simpang Gambir, truk dalmas berhenti di salah satu rumah di pinggir jalan. Ternyata rumah bidan desa. Kami turun dari truk, ternyata kami baru sadar teman kami Ahmad Husein alias Dedek sudah berlumur darah di bagian mukanya, dan pakaian sendiri ikut berlumur darah, ternyata lemparan batu itu mengenai keningnya, tepat di atas matanya, untung tidak sampai ke matanya.

Selain Ahmad Husein, ada seorang anggota polisi tidak sadarkan diri (saya lupa namanya), ternyata ia juga mengalami lemparan mengenai kepalanya. Bingung juga kami dengan kondisi anggota polisi yang tidak sadarkan diri ini.

Tidak lama kemudian, pak kapolres Hirbak Wahyu Setiawan tiba ke rumah bidan desa, tempat kami wartawan dan anggota polisi yang dilempari warga istirahat dan berobat. Ia langsung mengecek anggotanya yang pingsan itu.

Mungkin sudah mengantongi laporan dari anggotanya soal penyebab truk dilempari warga, kami pun dipanggil pak Hirbak, kami kira waktu itu pak Hirbak cuma nanya-nanya sama kami, kebetulan ia baru bertugas. Ternyata perkiraan kami salah, pak Hirbak memarahi dan membentak kami.

“Anggota saya luka-luka, tidak sadarkan diri, kalian harus tanggung jawab, saya tidak mau kenapa-kenapa dengan anggota saya,” katanya dengan nada cukup keras. Mendengar itu kami bingung tapi tetap berusaha menjelaskan bahwa salah satu teman kami pun jadi korban lemparan.

“Siapa yang suruh kalian naik ke dalmas?” Sambungnya lagi. Dan lagi-lagi kami berusaha membela diri karena kami ingin sampai ke Natal untuk menjalankan tugas peliputan berita.

“Galak juga kapolres baru ini ya, ya sudah kita beritakan saja dia bentak-bentak wartawan yang sedang menjalankan tugas,” itu kira-kira yang kami sepakati malam itu.

Akhirnya kami diselamatkan Camat Natal dan Camat Lingga Bayu untuk pulang ke Panyabungan.

Besoknya, Kapolda Sumut yang saat itu dijabat Irjen Pol Oegroseno (terakhir menjabat Wakapolri) tiba di Panyabungan. Kami yang mendapat kabar itu pun bergegas menuju hotel Paya Loting Panyabungan. Di situ sudah ada pak bupati H. Amru Daulay dan wakil bupati Hasim Nasution. Saya masih sempat wawancara sama jenderal Oegroseno. Setelah itu kapolda beserta rombongan termasuk di dalamnya ada pak Hirbak berangkat menuju Simpang Gambir. Saya berusaha ikut, dan akhirnya dapat tumpangan mobil kabag humas yang mendampingi wakil bupati Hasim Nasution bersama rombongan kapolda.

Kapolda dan pak Hirbak mengadakan pertemuan dengan tokoh masyarakat di kantor kelurahan Simpang Gambir. Saya masih diizinkan mengambil dokumentasi kegiatan itu. Namun saya perhatikan pak Hirbak menghindar, mungkin masih marah sama kami kejadian semalam.

Selesai pertemuan dengan tokoh masyarakat Simpang Gambir Kecamatan Lingga Bayu, kapolda dan rombongan menuju ke Natal. Saat itu wakil bupati Hasim Nasution tidak ikut ke Natal dan akan pulang ke Panyabungan. Saya meminta sama ajudan kapolda agar bisa ikut rombongan, ternyata tidak diizinkan ikut. Terpaksa pulang sama rombongan wakil bupati.

Sore harinya kalau tak salah, kami yang sudah di Panyabungan mendapat informasi terjadi kerusuhan di Natal. Menurut informasi warga Natal menyerang rombongan kapolda dengan lemparan batu, bahkan ada yang bilang kapolda atau pejabatnya sempat terkena lemparan, dan kantor polsek sebagian rusak jadi sasaran amukan warga. Situasi di Natal saat itu mencekam, polisi melakukan sweeping mencari pelaku pengerusakan dan pelemparan. Alhasil puluhan orang warga Natal diangkut ke Polres Madina untuk dimintai keterangan.

Beberapa hari setelah itu situasi di Kecamatan Lingga Bayu dan Kecamatan Natal mulai kondusif, tidak ada lagi blokade maupun penyanderaan warga. Kami pun diundang Kapolres Madina makan siang di Lia Garden Resto Dalan Lidang Panyabungan. Katanya ingin silaturahmi dengan wartawan, perkenalan diri karena baru bertugas di Madina.

Usai acara makan siang, ajudan Kapolres Madina memanggil saya.

“Abang yang namanya Ridwan ya? Dipanggil bapak sebentar” katanya. Saya pun menemui kapolres yang sedang menuju mobil dinasnya.

“Mas, saya tunggu besok di ruangan saya ya” kata pak Hirbak, saya sempat bingung sendiri, “apalagi salah saya ini”.

Keesokan harinya saya menemui pak Hirbak di ruangannya. Saya kira akan dimarahi lagi. Ternyata pak Hirbak cuma bilang minta maaf atas kejadian kemarin yang sempat berdebat soal truk dalmas yang dilempari warga dan mengenai anggotanya juga teman kami.

“Yang kemarin jangan diambil hati ya mas. Maklumlah situasinya saat itu sudah mulai tidak kondusif ditambah anggota saya tidak sadarkan diri, alhamdulillah anggota saya sudah pulih. Saya kemarin sudah ketemu juga sama teman-teman wartawan yang ada malam itu,” katanya. Saat itu yang terpikir bagi saya pak Hirbak ini ternyata sangat sayang sama anggotanya. Kami pun bertukar nomor hand phone.

Semenjak itu komunikasi kami berjalan lancar. Bisa dibilang sekali seminggu ketemu. Selain untuk temu pers soal kasus yang sedang ditangani polres, terkadang sekedar ngopi.

Salah satu yang berkesan, saat itu istri saya melahirkan anak pertama, di rumah sakit Armina Panyabungan. Di situ pak Hirbak sempat datang membesuk. Tentu saja hubungan silaturahmi semakin dekat. Pembahasan tidak lagi soal pemberitaan. Banyak sekali nasihat yang diberikan beliau. Sekitar setahun lebih pak Hirbak bertugas di Madina, lalu ia pindah tugas menjadi Kapolres Labuhan Batu. Sewaktu bertugas di Labuhan Batu kami masih beberapa kali komunikasi, namun setelah pindah tugas dari Labuhan Batu sudah sangat jarang, karena kami dapat informasi pak Hirbak bertugas sebagai Interpol berkantor di Singapura. Terakhir bertugas sebagai direktur Intelkam Polda Metro Jaya.

Dua hari yang lalu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan surat telegram berisi mutasi perwira menegah hingga perwira tinggi polri, salah satunya adalah Kombes Pol Hirbak Wahyu Setiawan, mendapat promosi jabatan sebagai Karo Analis Baintelkam Polri.

Jabatan ini untuk perwira tinggi berpangkat jenderal bintang satu atau brigadir jenderal polisi. Itu artinya pak Hirbak dalam beberapa hari ke depan akan mendapat pangkat baru jenderal bintang satu di pundaknya.

Selamat bertugas, jenderal!
Sehat selalu dan sukses mengemban jabatan.

Penulis adalah wartawan surat kabar harian Metro Tabagsel (2009-2021) dan pemimpim redaksi mohganews (2020 sampai sekarang)